Terharu baca blog seorang anak bernama vavai yang masih berumur 4 tahun, blog itu kayagnya udah ada semenjak dia berumur 1 tahun. Tak usah heran, ayahnya yang menuliskan dan mengepost semua foto-foto vavai. Sepertinya ayahnya vavai adalah ayah yang lembut, ayah yang memikirkan bahwa semua orang membutuhkan kebebasan dan tentu saja yang paling penting adalah belaian.
Jadi ingat ayah di rumah, ayah yang aku panggil Bapak, ayah yang aku banggakan. Mungkin perasaan ayahku terhadapku sama dengan ayahnya vavai. Aku juga anak pertama, persis vavai. Memang sih, kata orang anak pertama itu akan mendapat perhatian yang lebih. Wajar saja.., itukan pengalaman pertama para orang tua.
Bedanya ayahku dengan ayahnya vavai, ayahku lebih tegas. Aku ingat, dulu aku tidak boleh menangis (terahir aku tau ini cara yang salah , tapi tak apa2 ), aku juga tidak boleh bermain panas, tidak boleh bermain sampai jam 6 sore. Padahalkan, kami tinggalnya di kampung, anak-anak kampung hidupnya enak, biasanya aturannya sedikit, tapi kalo di rumahku, gk ada hidup tanpa aturan (ini merupakan kebanggaan apa nggak ya? ). Walaupun dulu aku kesal dan sesekali melanggar aturan-aturan ayah, dan tentunya adik-adikku ikut-ikutan melanggar, dan hasilnya kemarahan ayah kepadaku berlipat. Yang pertama karena dulu penyakit asmaku sangat tidak toleran dengan cuaca dingin (di kampungku dingin x), dan kedua karena aku dianggap tidak memberi contoh yang baik pada adik-adikku. Hebatnya lagi, ayahku tidak memukulku, beliau juga tidak memaki-makiku (seperti ayah teman-temanku di kampung), ayah hanya menyampaikan ketidaksenangannya dengan pelanggaranku melalu kata-kata (dan aku yakin aku mengerti). Tapi kalau asmaku kambuh, ayah dengan setia menggendongku sampai pagi, karena kalau udah kumat, aku bakal nggak bisa tidur. Atau mungkin ketika aku terserang batuk saja (biasanya ini gejala kambuhnya asma), ayah akan terbangun malam-malam dan masuk ke kamarku hanya untuk mengecek keadaanku. Kalo ibu, aku tahu dia nggak tahan melihat anaknya menderita, pasti ikut-ikutan sakit kalau aku atau adikku sakit.
Mungkin didikan ayah yang seperti itu membuat aku lebih cepat menjadi dewasa. Aku orang yang perasa, mampu memahami orang lain dan aku menjadi orang yang keras. Tak ada kata bermanja-manja dalam hidupku, aku membatasi kontak fisik dengan orang lain (ini terjadi sampai sekarang, aku tidak suka bersentuhan dengan orang lain apalagi pada saat tidur, persis kayag ayahku :)).
Tapi sepertinya sifatku yang seperti itu hanya kulit luarnya saja, jauh di dalam lubuk hatiku aku ingin ayahku lebih dekat dengan aku. Aku ingin memeluk ayah dan ibuku, sepertinya aku belum pernah melakukannya semenjak aku masuk SD. Ada sedikit rasa iri ketika Ririn dikunjungi ayahnya ke kampus, “peluklah bapaknya nang…..”, dan hampir saja aku menagis. Aku juga ingin melakukannya, hanya saja aku tidak sanggup, aku terlanjur dengan aturan-aturan yang aku ciptakan untuk hidupku sendiri, dan aku harus menelan pil pahit atas itu. Huftt…
Kamu mungkin berpikir kalau hubunganku dengan ayahku jauh? Tidak juga, kami hanya kehilangan kontak fisik dan aku rasa, aku membutuhkannya. Ayah dan ibuku pastilah orang yang kaku untuk melakukan hal ini. Tapi tulangku (kakak laki-laki ibuku) akan memelukku kalau kami bertemu, dan taukah kamu, sejak tahun 1997 (kelas 2 SD) sampai sekarang, aku baru merasakannya 2 kali. Bayangkan betapa hausnya aku dengan pelukan.
Lingkungan keluarga kami tidak termasuk lingkungan yang kaku, kami sering tertawa dan mengobrol bersama dan menurutku, banyak dari anggota keluargaku yang punya bakat mengocok perut. Ayah, beliau adalah seorang yang jago guyon, adikku Adolf Maximian, Anastasia, Nikolaus, mereka semua akan melucu jika dibutuhkan dan aku suka itu meskipun aku tahu ibuku terkadang kurang suka. Dan jika ibu sudah mulai keberatan, maka aku sebagai anak tertua akan keberatan “Mamak ini aneh kali, nggak lucu mamak rasa?”, dan aku tahu ibuku akan mengalah, dia akan ikut tertawa.
Ah, sudahlah, airmataku jadi tak terbendung, jadi nangis nih..
Kangen rumah, kangen sama Bapak, Mamak, dan adik-adikku, meskipun adik-adikku juga sekarang sudah melanglang buana, ada di Pekanbaru, ada di Medan, tinggal satu yang masih tinggal di kampung.
Kog jadi ngaco ya?
Udah ah,